Dahulu luwing adalah binatang yang kecil dan panjang dan dapat berlari kencang. Dia dapat mengejar matahari sampai matahari terbenam. Karena larinya sangat kencang maka tidak ada satupun binatang yang berani kepadanya. Bahkan manusia juga menghormati luwing. Setiap hari ia menantang setiap binatang untuk berlomba berlari.
Tetapi siapapun yang berani menjawab tantangan sang luwing maka tak urung ia juga kalah pula. Ia terus mencari musuh yang mau bertanding dengannya.
Ke sana-kemari sering pulang tangan kosong karena tidak ada yang memberanikan diri.
Anak-anak luwing semakin sombong walau badan mereka kecil. Semakin lama masyarakat luwing semakin berani dengan binatang lain. Bahkan luwing sempat menantang penguasa alam semesta.
Binatang lain sangat khawatir jangan-jangan penguasa alam murka. Sedangkan kesombongan para luwing itu membuatnya sangat kesepian karena tidak ada yang berani bersahabat dengan mereka. Kesombongan itu semakin memuncak dimana mereka mulai sering mengganggu binatang lainnya.
Pada suatu hari luwing membuat gempar seluruh penghuni hutan. Karena ia hendak mengajak burung hantu untuk berlomba. Karena sudah tahu kecepatan luwing maka burung hantu hendak menolak secara halus permintaan luwing untuk bertanding.
Dia takut akan tersinggung jika ia menjawab dengan apa adanya. Akan tetapi dasar luwing memang sombong dan merasa dirinya jago, maka keramahan burung hantu dianggap suatu penghinaan baginya.
"Kamu menghina saya ya?" tanya luwing dengan kasar.
"Aku tidak menghinamu, tetapi sekarang aku sedang tidak enak badan," kata burung hantu.
"Kamu bohong, mukamu tidak pucat," getar luwing.
Sesungguhnya burung hantu memang tidak enak badan. Ia juga merasa percuma karena nantinya juga tetap kalah.
"Hanya kamu yang belum pernah bertanding", kata luwing. Burung hantu tidak tahu harus mengatakan apa agar luwing bisa mengerti.
Karena burung hantu tidak mau juga, luwing hilang kesabarannya maka ia mengambil minyak lampu dan mengoleskan di mata burung hantu. Burung hantu kesakitan, luwing pun pergi meninggalkanya.
Sambil pergi meninggalkan burung hantu yang kesakitan, luwing bersumpah, "Hai burung hantu, kamu tidak akan bisa melihat disiang hari, matamu hanya dapat melihat di malam hari!"
Itulah sebabnya burung hantu sulit melihat pada siang hari. Dengan cepat tersebarlah kabar penganiayaan luwing pada burung hantu. Binatang lain merasa kasihan melihat burung hantu yang terus kesakitan. Saat itu burung hantu bersumpah akan memakan luwing jika ia melihat luwing beserta anak cucunya di malam hari. Sejak saat itu burung hantu dan luwing tidak pernah bertemu.
Karena dianggap keterlaluan perbuatan si luwing maka berkumpullah binatang hutan yang ada. Mereka bermusyawarah untuk mencegah luwing agar tidak melakukan perbuatan keji lagi kepada binatang lainnya. Hasil musyawarah itu adalah binatang penghuni hutan meminta kepada penguasa alam menghukum luwing agar tidak terlalu sombong.
Mendengar keputusan binatang penghuni hutan, luwing marah sekali. Dia mendatangi binatang yang hadir dalam pertemuan musyawarah itu dengan satu persatu dan memarahi mereka.
Disamping itu luwing juga balik menyampaikan undangan agar para binatang tadi berkumpul kembali. Karena pertemuan mereka kemarin dianggap tidak sah.
Maka berkumpullah semua binatang di sebuah lapangan yang sangat luas. Anak-anak dan cucu luwing nampak mondar-mandir sambil mengejek binatang lain yang hadir dalam pertemuan itu. Gajah, babi hutan, harimau, kucing, tikus, tupai, kelinci, rusa dan lainnya juga berkumpul.
Mereka tidak berani untuk tidak datang dalam pertemuan ini karena mereka takut jika luwing akan memporak-porandakan rumah mereka.
Mereka seluruh penghuni hutan itu hanya bisa menuruti saja apa kata masyarakat luwing karena didasari perasaan takut. Tidak lama kemudian dihadapan mereka muncul induk luwing di atas mimbar putih dan berpidato.
"Saya mau menyampaikan kesan saya terhadap keputusan penghuni hutan yang telah mengutuk saya. Perlu diketahui, tidak akan ada yang berani menghukum saya. Sayalah yang terhebat dimuka bumi ini. Kalian harus mengerti!"
Suasana yang tadinya riuh setelah kehadiran induk luwing di atas mimbar menjadi sangat menegang. Mereka tercekam rasa takut karena sudah tiada perlindungan bagi mereka jika sang penguasa alam benar-benar telah ditaklukkan luwing.
Induk luwing hendak menambah pidatonya, tiba-tiba ada anaknya yang menjerit. Para binatang lainnya semakin ketakutan.
"Siapa yang berani menganggu anak saya?" induk luwing membentak.
"Tidak tahu mak!" jawab anak-anak luwing. Induknya geram memandang binatang hutan satu persatu. Dia mengancam akan menghukum mereka karena anak-anak mereka kesakitan. Induk luwing merasa ada yang aneh kejadian ini. Anaknya juga merasa heran karena seperti ada kekuatan yang mempengaruhi mereka. Binatang yang hadir waktu itu semakin ketakutan, tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah diselidiki induk luwing heran karena kaki anak cucunya tambah banyak. "Pasti ada yang usil", pikir induk luwing.
Induk luwing bermaksud segera mendekati para binatang lain dan mau mencari kepastian penyebab hal itu. Dia mengira ada tangan jahil binatang lain yang mengganggu agar konsentrasi rapat itu bisa buyar. Ia dengan kemarahan yang meluap segera turun dari mimbar.
Tiba-tiba dia terjatuh, "Aduh..sakiit!" serunya.
Binatang lain heran dan semakin takut karena induk luwing tersungkur di pojok mimbar batu putih yang tinggi itu. Tidak lama kemudian mereka pun tertawa meski terheran-heran.
Mendengar ada yang berani tertawa, induk luwing semakin marah. Hatinya panas, dia ingin segera menghukum binatang yang hadir saat itu. Diapun bangkit akan lari.
Tetapi dia sudah tidak dapat lari kencang. Dia terkejut melihat kakinya sendiri yang menjadi banyak itu. Muka pucat pasi. Seperti tidak berdarah lagi. Sadarlah luwing-luwing itu kini.
Ia tidak lagi bisa berlari kencang karena kakinya banyak. Dengan perasaan malu dia meminta ampun kepada penguasa alam semesta. Sementara itu binatang lain meninggalkan keluarga luwing. Keluarga luwing merasa malu sekali.
Demikianlah, permohonan penghuni hutan kepada Sang Maha Pencipta telah menjadi nyata. Dengan malu sekali masyarakat luwing merangkak menuju hutan dan mereka berjalan pelan di bawah daun-daun yang Rimbun.