Saturday, June 15, 2013

Cerita Pendek (CerPen) -*SERULING AJAIB*-

SERULING AJAIB

Matahari bersinar dengan teriknya. Dimas, Bagas, Satria, dan Ludvi berjalan pulang sekolah menuju rumah Ludvi. Mereka akan mengerjakan tugas kelompok. Saking panasnya, Bagas mengeluh,
“Mataharinya panas banget. Dimas, jajanin es dong.”
“Iya nih. Traktirin, ya… Please…” Satria memasang muka memelas.
“Ah, teman-teman, bentar lagi juga nyampe rumahku. Ntar begitu nyampe aku bikinin es teh, apa es jeruk, es buah, es sandal, terserah deh!” kata Ludvi sambil mengelap keringatnya.
Nampak sebuah mobil, ternyata mobil Doni.
“Hai kawan-kawan!” sapa Doni membuka jendela mobil. “Cepetin jalannya, ya. Dadahh…” seru Doni.
Dimas hanya sebal. “Huh, makanya ajak kami juga dong!”
Sahabat-sahabatnya hanya ikut bersungut-sungut.

Tibalah mereka di rumah Ludvi. Benar, Dimas, Bagas, dan Satria disuguhi minuman es.
“Eh, mana es sandalnya?” canda Dimas
“Ih… Dimas, kamu mau? Sana ambil sandalnya Ludvi. Sana…” sahut Satria bercanda. Mereka tergelak.

Satu jam kemudian, tugas mereka telah selesai.
“Horee… Selesai. Main yuk!” ajak Ludvi senang.
“Ayo ayo,” balas Bagas mewakili sahabat-sahabatnya.
Mereka bermain petak umpet di lapangan. Tiba-tiba, datanglah pembuat onar. Ada Rifki, Abel, Rizal, dan Izzul.
“Heh, kalian. Ngapain main di lapangan kami?!” seru Rifki.
“Ini kan bukan lapangan kalian sendiri!” balas Bagas tak terima.
“Kalo gitu, masing masing beri Rp 5.000,00 ke kami!” kata Izzul.
“Ya nggak bisa,” sahut Dimas tidak terima juga.
Rifki mendorong Dimas hingga terjatuh dan terluka, lalu meninggalkannya. Teman-teman Dimas mengerubungi Dimas.
“Dimas, kamu nggak kenapa napa, kan? Ayo kuobati,” Bagas khawatir.
“Nggak apa kok. Cuma sikuku berdarah.” Dimas menatap lukanya. Namun ia merasa menduduki sebuah benda silinder.
“Ooh… seruling!”
Sahabat-sahabatnya mengerubungi. Dimas memainkan seruling, seketika lukanya sembuh. Semua kaget dan heran,
“Hah?! Lu… lukanya?” Bagas tergagap.
“Mainkan lagi,” pinta Satria.
Dimas melakukannya. Tumbuhan yang tadinya layu menjadi subur.
“Kita harus merahasiakan ini,” kata Ludvi pelan.
Namun Rifki dkk. telah mendengarnya. Mereka sembunyi di balik pohon besar.
“Kita harus mencurinya,” bisik Rizal.
“HARUS BRO!!” seru Abel.
“Diam Bel! Kedengeran nanti” bisik Izzul agak kesal. Tapi, Satria sudah mendengarnya.
“Ada yang mau mencuri seruling ini. Ayo sembunyikan!”
Mereka berlari ke rumah Ludvi. Rifki mengerjar. Namun malah di culik oleh seorang penculik. Kawan-kawannya berteriak.

“RIFKI!!!”
Ludvi yang masih di teras rumah mendengar. Segera ia mengajak teman-temannya menolong.
“Teman-teman, sepertinya Rifki sedang dalam bahaya. Ayo kita tolong!”
“Buat apa sih, Lud? Dia kan udah jahat sama kita!” bantah Bagas kesal pada Rifki dkk. Namun, akhirnya Bagas masih berbelas kasihan. Mereka tiba di lapangan.

“Ada apa dengan Rifki?” tanya Satria bingung.
“Rifki di culik,” sahut Abel sedih. Tak jauh dari situ, Nampak seorang menaiki mobil, ternyata itu penculik Rifki. “I.. itu penculiknya!” seru Rizal marah.
“KEJAAR…!!!” teriak ketujuh anak itu berlari.
“Dimas, seruling!” sahut Izzul sambil berlari.
“Oh iya!” balas Dimas mengeluarkan seruling ajaib dari sakunya.
Dimas memainkannya. Dan seketika itu, sang penculik terangkat ke atas.
“Huwaa… apa ini? Tolong aku! Cepat!” penculik ketakutan
“Serahkan teman kami! Lalu kami lepaskan.” kata Ludvi geram.
“Ya! Baik baik! Aku janji tak akan menculik anak anak lagi. Sekarang turunkan aku.”
“Janji ya!” tegas Izzul menatap tajam penculik.
Dimas berhenti memainkan serulingnya. Sang penculik kabur. Sebelumnya, ia menyerahkan Rifki. Rifki terlihat sangat lega.
“Te… teman teman, makasih ya, sudah nyelamatin aku. Ng… Dimas, dan kawan-kawan, makasih banyak udah nolong aku. Padahal kami sudah jahat sama kalian. Dan maafin kami,” ujar Rifki tulus. “Mau ga jadi sahabat kita?”
“Tentu saja mau, kawan!” Dimas mewakili teman-temannya sambil merangkul Rifki.

Tiba tiba ada anak berlari menghampiri Dimas dkk.
“Hei, kalian yang di sana!” panggil anak itu.
Lalu ia berkata pada Dimas, “Itu seruling milikku. Tolong kembalikan.” serunya sopan dan ramah.
Dimas dan yang lainnya terkejut. Ternyata itu milik anak itu. Dimas memberikan seruling itu ke anak itu yang tadinya seruling itu Dimas genggam.
Anak itu menatap serulingnya.
“Ini peninggalan dari kakekku. Tadi aku membawanya ke sini, ternyata terjatuh. Makasih, kalian sudah menemukannya.”
Sambil memberi senyum, anak itu memperkenalkan dirinya.
“Hai, namaku Novan!” katanya sambil mengulurkan tangan.
Bergantian mereka berkenalan. “Aku Dimas.” “Aku Rifki.” “Bagas.” “Satria.” “Abel.” “Rizal.” “Izzul.” “Aku Ludvi.”
Abel sambil menyengir, ia berkata
“Mau kan Novan jadi sahabat kita?”
Novan tak menyangka, ia senang sekali. Tak ragu ia mengiyakan.
“Mau dong! Aku kan suka punya teman banyak!”

Siang itu adalah siang yang berkesan. Di rumah Ludvi, mereka merayakan permulaan persahabatan mereka.
“Nih, es jeruk seger nya! Ayo ayo di minum. Kita rayain persahabatan kita!” seru Ludvi.
“Es sandalnya?” canda Bagas menirukan Dimas.
Mereka tergelak bebarengan. Sungguh, tak terlupakan selamanya!

-------------------------------------------------------(SELESAI)------------------------------------------------------
Disqus Comments