Dari mengamati perilaku kehidupan masyarakat
Jepang, sebenarnya tergambar bagaimana sebuah komunitas terdidik terlahir dari
suatu sifat dan sikap yang sederhana. Yang pertama mari kita lihat bagaimana
orang Jepang mengedepankan rasa “malu”. Fenomena “malu” yang telah mendarah daging
dalam sikap dan bu daya masyarakat Jepang
ternyata membawa implikasi yang sangat luas dalam berbagai bidang
kehidupan. Penulis cermati bahawa di Jepang sebenarnya banyak hal baik lain
terbentuk dari sikap malu ini, termasuk di dalamnya masalah penghormatan
terhadap HAM, masalah lawenforcement,
masalah kebersihan moral aparat, dan sebagainya.
Bagaimana masyarakat Jepang bersikap terhadap peraturan lalu lintas adalah suatu contoh nyata. Orang Jepang lebih senang
memilih memakai jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya
dengan memotong jalur di tengah jalan raya. Bagaimana taatnya mereka untuk
menunggu lampu traffic light menjadi hijau,
meskipun di jalan itu sudah tidak
ada kendaraan yang lewat lagi. Bagaimana
mereka secara otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang
membutuhkan, pembelian tiket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola,
di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka
berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila
mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.
Sifat berikutnya adalah masalah “sopan
santun dan menghormati orang lain”. Masyarakat Jepang sangat terlatih refleksnya
untuk mengatakan gomennasai (maaf) dalam setiap
kondisi yang tidak mengenakkan orang lain. Kalau kita
berjalan tergesa-gesa dan menabrak orang Jepang, sebelum kita mengatakan maaf,
orang Jepang dengan cepat akan mengatakan maaf kepada kita. Demikian juga
apabila kita bertabrakan sepeda den gan
mereka. Tidak peduli siapa yang sebenarnya
pada pihak yang salah, mereka akan secara refleks
mengucapkan gomennasai (maaf).